Hukum Cadar: Kesimpulan Antara 2 Pendapat Ulama (5)
Pertama, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dan sebagian para wanita sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.
Kedua, membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiyah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihin wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.Ketiga, seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan (ekstrem).
Keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup.
Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bishshawwab.
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (4)
Sahl bin Sa’d berkata,
Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada Anda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya……” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya… tetapi (pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat wanita mukmin yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” (Fathul Bari IX/210).Kelima, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
“Dahulu wanita-wanita mukminah biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,
“Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnad-nya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66)
Dari perkataan ‘Aisyah, “Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap.” dapat dipahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Keenam, ketika Fatimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber-’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,
Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Karena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66-67).
Ketuju, Abdurrahman bin ‘Abis,
“Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah Anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasihati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai sedekaah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam Kitab Jum’ah)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas -di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.”
Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah: 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 67, 75).
Kedelapan, dari Subai’ah binti Al-Harits,
Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” (HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69).
Kedelapan, Atha bin Abi Rabah berkata,
Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”. Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku memiliki penyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”. Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan surga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Ketiga sembilan, Ibnu Abbas berkata,
Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat),
“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripadamu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang terkemudian (daripadamu).” (QS. Al Hijr: 24) (HR. Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 70).
Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Keempat sepuluh, Ibnu Mas’ud berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu membuat beliau terpesona, kemudian beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapa pun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu membuatnya terpesona, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita itu.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no. 235)
Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Kesebelas, Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara mereka yang berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.” (HR. Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72)
Keenam duabelas, berlakunya perbuatan ini setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiah yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah (hal. 96-103). Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.
Ketujuh tigabelas, anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi perselisihan di antara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Di antara ulama besar mazhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi.” (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 7-9).
Kedelapan empatbelas (tambahan), dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup. Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat jilbab. Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaidah, bahwa setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapusnya. Maka orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Di edit oleh tim Muslimah.or.id